kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Apa alasan di balik kebijakan devaluasi yuan?


Rabu, 12 Agustus 2015 / 09:14 WIB
Apa alasan di balik kebijakan devaluasi yuan?


Reporter: Barratut Taqiyyah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

BEIJING. Secara mengejutkan, People's Bank of China (PBOC) memangkas nilai mata uangnya kemarin (11/8). Tidak tanggung-tanggung, bank sentral Negeri Panda itu melakukan devaluasi atas nilai tukar harian yuan sebesar 1,9%. Rekor di sepanjang sejarah.

Kebijakan yang diambil PBOC ini dilakukan untuk mencegah penurunan ekspor China lebih dalam lagi. Tapi, tahukah Anda, penurunan nilai mata uang yuan tidak sepenuhnya ditujukan untuk membantu eksportir? Kebijakan anyar dari PBOC ini memiliki implikasi yang lebih besar.

Sebenarnya, beberapa waktu terakhir, China menginginkan agar mata uangnya menguat secara stabil untuk alasan politik serta mencegah hengkangnya dana asing keluar dari China. Apalagi, target ekonomi domestik dan internasional China sejalan dengan penguatan yuan.

Wall Street Journal pernah melaporkan, China secara aktif berupaya untuk memperkuat posisi yuan pada April lalu. Pada waktu itu, PBOC membeli yuan di pasar mata uang dan menjual kepemilikannya atas dollar AS. Tujuannya tak lain untuk mengerem capital outflow dari China seiring pelemahan yuan.

Itu sebabnya, langkah devaluasi ini memunculkan tanda tanya besar. Apakah betul alasannya hanya untuk membantu eksportir China sehingga barang-barang yang mereka jual lebih murah dari pasar global?

PBOC punya banyak alasan

Ada beberapa alasan lain yang mendasari kebijakan ini.

Pertama, posisi yuan yang menguat sangat terkait dengan dollar karena China masih mengatur nilai tukarnya di kisaran tertentu terhadap dollar. Saat dollar AS perkasa dengan cepat melawan mata uang dunia lainnya, yuan juga menguat terhadap mata uang negara yang menjadi partner dagangnya.

Menurut analisa Jonathan Anderson, Emerging Advisors Group, China menginginkan yuan menguat secara stabil terhadap negara partner dagangnya untuk sementara waktu. Nah, untuk mempertahankan apresiasi yuan secara bertahap (apalagi saat dollar menguat dengan cepat), maka China harus mendevaluasi mata uangnya.

"Namun, hal ini tidak sama dengan "devaluasi yang kompetitif" dari renminbi -dan tidak ada yang seperti itu selama ini," jelasnya, seperti yang dikutip Fortune.

Dia menambahkan, "Apa yang baru saja China lakukan adalah mengatur apresiasi mata uangnya secara bertahap. Upaya agar mata uangnya dapat bersaing dengan partner dagangnya yakni dengan mendevaluasi mata uang mereka di kisaran 20% hingga 40% terhadap dollar AS."

Anderson menguraikan, jika China mendevaluasi yuan sekitar 20%, maka jelas kebijakan itu sebagai upaya pemerintah untuk mendongkrak ekspor. Namun, devaluasi mata uang hingga mencapai 2% memiliki alasan berbeda. Tujuannya tak lain untuk menjaga yuan agar sejalan dengan mata uang negara partner dagang mereka, yang rata-rata melemah terhadap dollar AS.

Chen Long dari Gavekal Dragonomics di Hong Kong beberapa waktu terakhir menjelaskan, China memiliki dua tujuan dari kebijakan nilai tukar mata uang. Bahkan terkadang, tujuan tersebut saling bertentangan.

Dari segi domestik, devaluasi yuan bertujuan untuk membantu eksportir. Namun, China juga ingin menjaga nilai mata uang yuan tetap kuat untuk mencegah keluarnya modal asing yang dapat memperburuk kondisi perekonomian mereka.

Sedangkan dari segi internasional, China ingin menghindari perang dagang dengan AS. China juga ingin mendongkrak penggunaan yuan untuk tujuan politik, untuk menegaskan bahwa posisi mereka sangat kuat di pasar global. Kampanye terakhir yang dilakukan China yakni mengusulkan agar yuan menjadi mata uang cadangan Badan Moneter Internasional (IMF). Ini menjadi salah satu contoh keinginan kuat China agar mata uangnya menguat.

Saat ini keranjang mata uang IMF terdiri dari dollar, euro, poundsterling, dan yen. Dengan bergabung ke keranjang mata uang IMF akan mendongkrak gengsi yuan karena mata uang ini akan lebih banyak dan lebih sering digunakan pada transaksi serta pembayaran internasional. Pada akhirnya, beberapa tujuan ini mengarah ke satu tujuan yakni penguatan mata uang.

Bank sentral China mengungkapkan, alasan depresiasi yuan adalah salah satu cara untuk membuat sistem finansial mereka lebih berorientasi ke pasar. PBOC menjelaskan, nilai tukar di pasar spot akan menentukan posisi harian, sehingga bank sentral tidak akan melakukan banyak intervensi untuk mempengaruhi nilai tukar.

Dalam beberapa bulan terakhir, nilai tukar yuan-dollar di pasar spot lebih rendah dari nilai tukar acuan yang ditetapkan pemerintah. Sehingga, semakin jelas bank sentral China mendukung penguatan yuan.

Namun, ada juga alasan lain bahwa devaluasi yuan tidak hanya dipandang dari kacamata perdagangan. Pertama, eksportir lain di Asia, termasuk Korea Selatan dan Taiwan, sama-sama terpukul karena lemahnya tingkat permintaan dari luar negeri. Memburuknya kondisi ekonomi Eropa dan AS juga mempengaruhi ekspor China. Kesemuanya tidak bisa diselesaikan dengan memangkas nilai mata uang.

Kedua, China dapat menggunakan mekanisme lain untuk mengerek perekonomian mereka. Nilai tukar internet dan batasan Giro Wajib Minimum bank bisa menjadi pertimbangan. Analis memprediksikan hal itu akan terjadi.

Untuk saat ini, masih terlalu awal mengatakan bahwa China memulai perang mata uang, kendati bisa jadi ini menjadi indikasi awalnya.

Pasar global cemas

Devaluasi mata uang China memunculkan risiko di pasar global. Kecemasan utamanya adalah apa dampak dari kebijakan besar ini terhadap perekonomian dunia.

Pasca pengumuman PBOC, pasar saham global anjlok dan harga komoditas dunia tergerus. Kondisi serupa juga terjadi di pasar emerging, di mana pelemahan mata uang terjadi mulai dari peso Meksiko hingga dollar Australia. Dollar AS perkasa terhadap hampir semua mata uang dunia. Investor banting setir ke aset-aset yang dirasa lebih aman seperti obligasi dan surat utang pemerintah AS. Tak ayal, aksi itu menyebabkan yield surat utang AS jatuh tajam. Sebagai contoh, tingkat yield surat utang AS berjangkawaktu 10 tahun memiliki yield 2,13%.

Kondisi pasar saham juga senasib. Indeks Dow Jones tergerus 1,22% menjadi 17.402 dan indeks S&P 500 turun hampir 1% menjadi 2.084. Sedangkan indeks DAX Jerman anjlok 2,7%.

"Kebijakan tersebut sedikit mengguncang psikologi global. Jika sebuah negara yang memiliki pertumbuhan tinggi dan menjadi momentum pertumbuhan global...Jika China memangkas nilai mata uangnya, maka seberapa buruk kondisi negara lain di dunia?" jelas Robert Sinche, chief global strategist Amherst Pierpont Securities kepada CNNMoney.

Pasar Indonesia juga ikut terguncang. Kemarin (11/8), di pasar spot, rupiah tumbang 0,42% ke level Rp 13.607 per dollar AS. Ini posisi paling murah sejak Agustus 1998. Kurs tengah Bank Indonesia  (BI) mencatat, rupiah melemah tipis 0,03% menjadi Rp 13.541 per dollar AS.

Research and Analyst Divisi Tresuri BNI Trian Fathria mengatakan, mayoritas mata uang di Asia terimbas penurunan nilai mata uang China oleh People's Bank of China. Devaluasi demi mendongkrak perekonomian Negeri Panda. Efeknya, pelaku pasar menilai, perekonomian negara-negara dengan aset berisiko, seperti Indonesia sangat rawan. "Di sisi lain, dollar AS semakin menjadi primadona, sehingga rupiah semakin tertekan," ujarnya.

Lagipula, pelemahan yuan secara tidak langsung akan membuka ruang keunggulan rupiah. Hal ini bisa berefek buruk bagi ekspor Indonesia ke Tiongkok.

Sedangkan kondisi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga tidak jauh berbeda di mana indeks anjlok 2,6% dari hari sebelumnya ke 4.622,59. Analis Semesta Indovest Aditya Perdana Putra berpendapat, kebijakan PBoC telah mengakibatkan kepanikan di kalangan pelaku pasar. Selain itu, “Laporan keuangan emiten-emiten juga tidak bagus sehingga berdampak negatif ke pasar domestik,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet

[X]
×