kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Mengulik seretnya pendanaan infrastruktur (3)


Rabu, 27 September 2017 / 16:42 WIB
Mengulik seretnya pendanaan infrastruktur (3)


Sumber: Tabloid Kontan | Editor: Mesti Sinaga

Banyak Kendala, Sepi Peminat

Instrumen investasi berbasiskan proyek infrastruktur bukanlah barang baru. Kontrak Investasi Kolektif (KIK) Efek Beragun Aset (EBA) atau Reksadana Penyertaan Terbatas (RDPT), demikian nama instrumen investasi untuk proyek infrastruktur, sudah beredar di Indonesia sekitar tujuh tahun lalu.

Namun hingga sekarang, tak banyak dana yang mengalir ke instrumen tersebut.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Juni 2017, portofolio dana pensiun (dapen)di KIK-EBA cuma Rp 564 juta. Bandingkan dengan penempatan dananya di deposito berjangka dan sertifikat deposito yang mencapai Rp 67,15 miliar.

Begitu juga asuransi jiwa yang hanya menempatkan Rp 997,73 juta di KIK-EBA berbanding Rp 39,11 triliun di deposito berjangka dan sertifikat deposito. (Data Portofolio Investasi Asuransi dan Dapen bisa diakses di sini )

Ada apa dengan instrumen investasi berbasis infrastruktur di Indonesia? Menurut M.Q. Gunadi, Direktur Utama (Dirut) PNM Investment Management, ada beberapa permasalahan yang mengendala.

Pertama, tidak adanya sinkronisasi aturan di berbagai industri, baik asuransi maupun dapen. Setiap melakukan investasi, dapen harus minta izin ke OJK. Niatnya mungkin baik supaya terkontrol. Namun dapen jadi lebih lambat mengambil keputusan. “Sebaiknya itu dipermudah,” ujar Gunadi.

Kedua, investor ingin imbal hasil setinggi-tingginya. Tapi pemilik proyek mau menekan biaya serendah mungkin. Yang kerap terjadi, investor akhirnya memilih menempatkan dana di instrumen lain yang menjanjikan potensi keuntungan lebih besar.

Ketiga, karakter investasi di sektor infrastruktur yang jangka panjang. “Sementara investor enggak bisa nunggu tiga tahun,” ujar Gunadi. Kalau sukses beberapa tahun kemudian, yang menikmati adalah manajemen baru. Kalau gagal, maka manajemen lama yang disalahkan. Jadi mereka ingin yang bisa dinilai saat ini juga.

Masalah lainnya, masih banyak investor institusi seperti asuransi yang kurang paham dengan produk ini. “Masalahnya adalah kurangnya sosialisasi. Mereka belum sepenuhnya yakin,” katanya.

Risiko mangkrak

Dia menepis anggapan bahwa menilai dan mengemas proyek infrastruktur lebih sulit. Menurut dia, manajer investasi (MI) sudah familier, karena sudah terbiasa melakukan valuasi terhadap perusahaan. “Sebetulnya tidak ada persoalan. Kecuali untuk proyek pembangkit listrik, saya sudah pasti panggil konsultan,” ujar dia.

Direktur Bahana TCW Investment Management Soni Wibowo menilai, infrastruktur di Indonesia secara umum memiliki peluang yang bagus sebagai objek investasi.

Namun tentu tetap harus dilihat per proyek karena secara return ada yang lebih baik dibandingkan instrumen lain, semisal reksadana pendapatan tetap dan pasar saham. Ada juga yang sangat berisiko sehingga kemungkinan rugi cukup besar.

Soni menjelaskan, investasi di sektor infrastruktur memiliki beberapa karakter risiko yang unik. Ia mencontohkan risiko konstruksi, pembebasan lahan, risiko likuiditas, dan investasinya bersifat jangka panjang. “Ini yang harus dipahami oleh investor,” ujar Soni.

Penghitungan dan penilaian proyeknya juga berbeda. Proyek infrastruktur lebih dititikberatkan pada internal rate of return (IRR) proyek dan cash flow. Investor diharapkan bersabar karena memang sifatnya jangka panjang. “Prospek proyek infrastruktur tidak dapat diukur tahunan,” ujarnya.

Dalam menghitung dan menganalisis prospek proyek infrastruktur, Soni mengaku menggunakan pihak internal untuk due diligent process. “Kami juga memakai jasa pihak luar ketika ingin menjual proyek,” tutur dia.

Beberapa proyek RDPT infrastruktur Bahana, antara lain proyek Pelabuhan EasKal yang sudah dijual. Ada pula RDPT Pelabuhan Belawan Medan dan industri tekstil yang sudah jatuh tempo. RDPT yang masih berjalan adalah RDPT untuk terminal peti kemas dan jalan tol.

Jika mengacu ke beberapa proyek infrastruktur yang pernah ditangani lewat produk RDPT, Soni mengakui memasarkan proyek infrastruktur gampang-gampang sulit. “Kita harus mencocokkan selera resiko investor dengan proyek. Tentu, selera mereka tidak sama dengan selera investor reksadana biasa,” tutur dia.

Produk yang akan dirilis Bahana saat ini adalah RDPT untuk proyek Bandara Internasional Kertajati senilai Rp 900 miliar. Soni mengakui, masih ada beberapa pertanyaan tentang  proyek Kertajati, yang berada di Majalengka.

Pertanyaan yang sering ia dengar, seperti apakah pengoperasian Kertajati akan efektif jika Bandara Husein Sastranegara di Bandung tetap berjalan.

Menurut Angi Lim, Presiden Direktur Bowsprit Asset Management, dalam menilai sebuah proyek infrastruktur, MI perlu mempertimbangkan prospek proyek dan return of investment (ROI). Tak lupa, MI harus menyiapkan exit plan atau rencana cadangan yang akan dieksekusi bila proyek mangkrak.

MI juga harus melakukan analisa kelayakan sebelum menawarkan ke investor. Analisa kelayakan harus disertai perhitungan bisnis yang logis sehingga bisa diterima oleh investor. “Di sini MI butuh orang yang punya keahlian di bidang corporate finance dan mengerti mengenai bisnis infrastruktur itu sendiri,” ujarnya.

Sejauh ini Bowsprit baru menangani produk RDPT proyek infrastruktur untuk kawasan industri. Angi menilai prospek kawasan industri cerah karena sudah mendapatkan perusahaan multinasional yang punya komitmen investasi jangka panjang di Indonesia, sebagai tenant.

Menurut Direktur Utama Dana Pensiun (Dapen) Bank Tabungan Negara (BTN) Saut Pardede, memang pasar modal di Indonesia masih tertinggal dalam keragaman instrumen investasi.

Padahal, kebutuhan pendanaan proyek akan makin meningkat. Ia pun berharap, otoritas membuat aturan yang memungkinkan penerbitan instrumen baru.
Tidak sinkron

Dapen, menurut Saut, tentu akan menyambut kehadiran instrumen baru. Namun ia mengingatkan, saat memilih instrumen investasi, dapen akan mengutamakan faktor keamanan dibandingkan return yang tinggi.

Ia mencontohkan, RDPT yang tak punya underlying proyek, akan lebih pas untuk investor yang mentoleransi risiko tinggi, bukan dapen.

Lebih lanjut menurut Saut, dapen tidak perlu memahami detail sebuah proyek saat berinvestasi. Dapen bisa melakukan assesment terhadap hasil rating proyek tersebut atau analisa terhadap proyeksi keuangan oleh pihak ketiga. “Kecuali dapen ingin berinvestasi langsung sebagai pemegang saham pada proyek itu,” ujar Saut.

Proyek infrastruktur yang diminati dapen bisa seperti jalan tol dan pembangkit listrik di Jawa serta proyek lain yang lebih memiliki kepastian.

Senada dengan Saut, Suheri Lubis, Presiden Direktur Dana Pensiun Astra Satu, menekankan pentingnya faktor keamanan dan jaminan. Selain itu, dapen mengutamakan produk investasi yang bisa menghasilkan imbal hasil rutin secara bulanan.

Alasannya, target utama dapen adalah memperbesar dana milik peserta. “Sedangkan untuk proyek infrastruktur, kan, tidak bisa dalam jangka waktu yang singkat,” ujarnya.

Kalau dapen biasanya menginginkan yield bulanan, maka di infrastruktur hitungannya sekitar tiga tahun. “Ini yang kurang sinkron,” tutur dia.

Suheri bilang, pihaknya juga sudah sempat bicara dengan Bappenas. Intinya mereka siap mendukung program RDPT berbasis infrastruktur, asalkan diberi kepastian dan diberikan jaminan. “Secara prinsip, kalau ada peluang instrumen investasi yang lebih menguntungkan maka kami akan prioritaskan kepada instrumen itu,” ujarnya.

Ia memberi gambaran bahwa beberapa waktu lalu, sempat ada tawaran proyek infrastruktur pembangunan jalan tol di kawasan Cirebon. Namun ternyata, proyek itu mangkrak. “Untungnya kami tidak jadi ikutan,” tutur dia.

Menurut Chief Employee Benefits and Pension Manulife Indonesia Nur Hasan Kurniawan, salah satu tantangan proyek infrastruktur adalah memperoleh yield dalam jangka waktu yang pendek dan rutin.

Kesulitan lain yang dihadapi investor saat menghadapi instrumen investasi berbasis infrastruktur adalah valuasi proyek. “Komponen hitungannya jelas berbeda dengan produk keuangan,” ungkapnya.

Baik MI dan dapen sepakat bahwa pemerintah harus berupaya lebih agar proyek-proyek infrastruktur diminati investor.  Menurut Suheri, regulator harus terus melakukan relaksasi kebijakan terkait pembangunan dan pembiayaan infrastruktur, serta membentuk bursa pembiayaan infrastruktur.

Sementara peran pemilik proyek dalam menarik pendanaan adalah mendesain dan mempersiapkan proyek yang matang dan feasible untuk institusi keuangan.

Untuk institusi keuangan, tugasnya adalah mendesain produk yang sesuai dengan karakter cashflow pembiayaan infrastruktur, baik dari segi tenor, jadwal pembayaran dan imbal hasil yang bisa dinikmati.

Ditambah menciptakan instrumen pendanaan sesuai profil infrastruktur serta manajemen risiko, kebijakan dan alat untuk melakukan risk assessment dan monitoring sesuai dengan karakter default risk proyek infrastruktur.

Menurut Soni Wibowo, pemerintah harus memberikan edukasi kepada investor dan meyakinkan mereka bahwa waktu pembangunan proyek tidak molor. Selain itu, fasilitas penjaminan diperlukan untuk project bond. Saat ini belum ada institusi penjaminan yang benar-benar berfungsi sebagai penjamin.

Selama masalah-masalah tersebut belum teratasi, maka kehadiran instrumen, seperti dana investasi infrastruktur berbentuk kontrak investasi kolektif (Dinfra) akan kesulitan untuk mendapatkan peminat.

* Artikel ini berikut seluruh artikel terkait sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN, pada Rubrik Laporan Utama edisi 21 Agustus 2017. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Banyak Kendala Sepi Peminat"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×